16 Jan 2013

Sipin Putra : Pengelana Muda dari Mojo Agung


Kisah - Kisah Inspiratif Mereka (part 3)Cerita Inspiratif Seorang Sipin Putra: Perjuangannya Masih Panjang


“Sipin Putra adalah mahasiswa jurusan antropologi UI angkatan 2003, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 jurusan antropologi di Pascasarjana UI”


-
Latar Belakang Keluarga Sipin Putra
Ia mempunyai motivasi belajar di UI yaitu,  karena UI merupakan kampus terbaik di Indonesia dan berada di Jakarta, yang merupakan ibu kota Indonesia. Bagi Sipin, Jakarta menyediakan segalanya dan menjadi kiblat dari denyut perekonomian dan kehidupan dari wilayah Indonesia yang lainnya. Program televisi yang sering ia tonton, terutama sinetron remaja, iklan, dan sebagainya, membuat Ia ingin merasakan belajar sekaligus tinggal di Jakarta. Ia  masih polos, tidak memikirkan kehidupan bebas dan hambatan yang mungkin ada di Jakarta. Kalau orang Jawa bilang “wes kadhong kepincut!” mengingat Jakarta merupakan pusat kota yang sering digambarkan sebagai kota yang modern dan metropolitan. Berinyat ini sedikit sekelumit cerita yang pernah Ia alami dan rasakan ketika menjadi siswa SMU dan mahasiswa Universitas Indonesia.

Ia berasal dari keluarga yang sangat miskin, bapaknya hanya seorang tukang becak di Mojoagung, bapak sudah sering sakit-sakitan, sedang ibu hanya seorang ibu rumah tangga. Yang lebih parah, bapaknya tidak tamat SD, ibunya tidak tamat MI, malah kesulitan untuk baca tulis. Benar bahwa ibu Sipin merupakan orang yang sangat pemalu. Iya tumbuh dari kecil sampai menamatkan SMU di Jombang. Dari kecil ia terlihat cerdas dan mempunyai minat belajar tinggi. Ia tumbuh dan besar dengan mendapatkan nasihat dan pandangan hidup dari banyak orang. Ia tumbuh menjadi anak yang beretos kerja  keras. Ia diajarkan oleh guru SD Ia pada waktu itu untuk lebih rajin bertanya dan selalu duduk di bangnya barisan depan. Beragam ilmu Ia dapatkan bukan hanya di bangnya sekolah saja, tetapi dimana saja, termasuk tempat ketika Ia bermain, di ladang, ketika Ia membantu Pakdhe menjaga sapi-sapinya, di rumah kakek dengan beragam tokoh wayang kulitnya, di rumah pak kyai dengan beragam buku-buku Islaminya dan sebagainya.

Pada waktu remaja, Ia berpikiran bahwa Ia mendapatkan pencerahan, kebijaksanaan, hiburan, wawasan berasal dari luar rumah. Kenapa Ia berpikiran seperti itu? Kondisi rumah Ia pada waktu itu, tidak memungkinkan Ia untuk dapat belajar dengan baik. Rumah Ia dengan segala keterbatasan fasilitasnya tidak dapat memungkinkan Ia untuk tumbuh dengan baik. Namun Ia tidak boleh menyalahkan keadaan orang tua Ia. Keadaan orang tua yang serba minim termasuk dari segi pengetahuan juga tidak boleh Ia salahkan. Semua itu bukan menjadi hambatan bagi Ia untuk belajar hingga mampu memaknai hidup. Ia masih tetap bersyunyar dengan keadaan seperti itu. Dengan keadaan seperti itu, Ia mendapatkan banyak pengetahuan di luar rumah dan menjadi dekat dengan banyak orang di sekitar Ia.


Masa-Masa SMA
Pada awal mula menjadi siswa SMU 2 Jombang, Ia mengajukan keringanan SPP. Sewaktu melakukan daftar ulang, Ia mengajak bapak untuk menghadap ke Kepala sekolah. Ia memberanikan untuk menghadap, walaupun saat itu, pihak sekolah tidak membuka keringanan SPP. Ia akhirnya mendapatkan potongan 50 % dari biaya pendidikan yang ada, yang pada waktu itu nominal yang harus dibayar kalau tidak salah sebesar Rp 20.000,00 (kelas 1), Rp 22.000,00 (kelas 2), dan Rp 35.000,00 (kelas 3). Ia, yang waktu itu merupakan siswa SMU 2 Jombang, sering merasa malu karena keadaan kedua orang tua Ia mengingat semua teman-teman SMU waktu itu berasal dari keluarga menengah ke atas. Apalagi mengingat hanya ada empat orang siswa SMU 2 Jombang yang berasal dari SMP tempatnya berasal. Namun demikian, Ia tetap optimis dan bersemangat untuk menuntut ilmu di salah satu sekolah terbaik di Jombang ini. Waktu itu, Ia berusaha menutupi latar belakang keluarga Ia di mata teman-teman (yang mana hal ini tidak patut dicontoh oleh teman-teman lainnya)

Masa remaja Ia berjalan dengan indah. Hidup sederhana di desa dan belum terpikir untuk mimpi-mimpi yang besar. Ketika semester 1, di kelas 1 SMU, merupakan awal mulanya masa-masa sulit nya untuk menyesuaikan ritme belajar di sekolah favorit ini. Setiap hari Ia harus bangun pagi-pagi sekali sekitar pukul 05.00 untuk persiapan berangkat sekolah. Jam masuk sekolah tiap hari pada pukul 06.30 WIB. Pada pukul 05.30 Ia sudah harus berangkat dengan mengayuh sepeda menuju jalan raya untuk kemudian naik angkutan umum. Setiap hari Ia mengayuh sepeda sepanjang 4 KM. Perjalanan naik angkutan umum membutuhkan waktu 30-45 menit. Hal ini dikarenakan Ia tinggal di desa yang berada  di kota kecamatan. Sedangkan letak SMUN 2 berada di pusat kota Jombang. Setiap hari Ia melewatinya dengan melelahkan. Ia setiap hari pulang sekolah pukul 15.00 WIB.

Ia kelihatan kurus karena harus belajar dengan keras. Jumlah bunya-bunya yang Ia miliki sangat sedikit karena Ia tidak punya uang untuk membeli buku-buku pelajaran yang layak. Biasanya Ia lebih rajin mencatat dan meminjam buku bacaan ke teman kemudian di rumah Ia catat bunya bacaan tersebut ke bunya tulis Ia. Di rumah Ia belum ada televisi pada waktu itu, sehingga kalau malam hari Ia lebih fokus belajar dan mengerjakan PR. Hanya radio yang menjadi sarana hiburan Ia ketika Ia bosan belajar. Agak menyedihkan memang karena teman-teman SMU Ia yang lain sudah sering membicarakan program-program TV yang mereka tonton dalam obrolan mereka sehari-hari. Program-program itu antara lain drama dari Taiwan, Meteor Garden, F4 serta beberapa judul program lain. Awalnya Ia malu, karena Ia tidak tahu dan belum pernah melihat acara tersebut. Namun Ia berusaha menutupi keadaan keluarga Ia dengan ikutan mengobrol dengan mereka (sekedar informasi, demi bisa nyambung mengobrol tentang program TV dengan teman SMU, Ia kadang harus menonton TV di rumah tetangga). Biasanya kalau Ia pulang sekolah, sebelum naik angkutan umum menuju desa Ia, Ia mampir ke loper koran dan majalah untuk sekedar mengetahui nama-nama artis yang sedang beken pada masa itu. Dari informasi sekilas di halaman muka koran tersebut Ia dapat ikut bergabung mengobrol dengan teman-teman SMU. Kalau ingat pada masa itu, kadang Ia tertawa lucu dan malu sendiri. Tak berlangsung lama teman-teman sekolah mulai tahu keadaan sosial ekonomi keluarga Ia. Yang Ia ingat, salah satu dari mereka pernah berkata, “Sipin, kamu mampu menutupi segala kekurangan kamu dengan perilakumu, dan kami semua tidak mengira kamu berasal dari keluarga yang seperti ini. Kami salut kepada kamu karena kamu pantang menyerah untuk sekolah di tempat jauh dan berbeda dengan anak-anak di sini”.

Menginjak kelas 3, Ia mulai bersikap dewasa dan mengambil keputusan sendiri mengenai pilihan hidup. Pada waktu itu, setiap hari Ia sekolah berangkat pagi dan pulang menjelang malam. Ada tetangga yang mengatakan bahwa Ia sebagai anak kampung yang sombong, pilih sekolah SMU saja yang jauh, pulang sampai malam, padahal orang tua Ia tidak mampu. Ia memahami mengapa mereka berpikiran dan berkata seperti itu mengingat banyak teman-teman Ia di kampung yang lebih banyak memilih sekolah di STM bahkan ada yang DO karena menjelang  kelas 3, dikenakan biaya PKL. Sedangkan Ia memilih SMU, karena pilihan pribadi Ia, nilai Ia mencukupi untuk masuk sekolah tersebut.

Alhasil di desa Ia, hanya Ia saja  yang sekolah di SMU 2 Jombang. Walaupun orang tua Ia tidak mampu namun Ia tetap nekad dan berani belajar di sekolah tersebut, dan akhirnya Ia mendapatkan keringanan. Pada waktu itu, Ia berpikir jika Ia sekolah di STM, mungkin Ia tidak mendapatkan keringanan seperti di SMU tersebut. Ia memberi pengertian kepada ibu nya agar jika ditanya tetangga, menjawab seperti yang Ia jelaskan. Awal kelas 3, Ia sudah mulai sibuk untuk fokus dengan kelulusan. Kegiatan pengajian, mulai Ia kurangi. Kegiatan sekolah mulai padat karena ditambah dengan les hingga sore hari. Ia mulai fokus dengan belajar agar dapat lulus dengan nilai bagus. Namun pada saat itu di rumah Ia, baru dibelikan kakak sebuah televisi. Ada hiburan televisi membuat Ia harus benar-benar mengatur waktu. Pada waktu itu, ibu Ia sangat suka menonton televisi, apalagi dengan suara keras. Ia merasa terganggu, akhirnya kadang Ia mengingatkan beliau. Namun kadang Ia masih terasa terganggu sehingga Ia lebih suka belajar di rumah teman. Sungguh orang tua nya kadang tidak mengerti dengan keadaan dan ambisi nya pada waktu itu.

Pertengahan kelas 3, Ia mulai tidak aktif dengan kegiatan pengajian di kampung. Ia kadang merasa sedih, karena orang tua kurang begitu mendukung keadaan Ia yang akan segera menghadapi Ujian Akhir. Kadang Ia lebih suka menginap di rumah teman SMU, sambil membawa buku-buku pelajaran. Ia kadang merasa sedih, karena Ia tidak seberuntung dengan teman-teman SMU. Mereka selain mendapatkan jam tambahan belajar di sekolah, mereka juga menambah les di bimbingan belajar dan tentunya mendapat dunyangan dari orang tua mereka. Beruntung ketika Ia meminjam buku les salah satu teman, dia memperbolehkan Ia untuk memotokopi bunya tersebut. Ia menjadi semakin sedih ketika melihat semakin banyak teman Ia yang membicarakan tentang rencana pernyaliahan mereka. Tidak hanya itu, biaya yang dibutuhkan selama kelas 3 juga semakin berat mulai dari biaya les tambahan di sekolah, buku yang harus dibeli dan biaya lainnya. Ia menyiasatinya dengan ikut kegiatan koperasi sekolah. Kegiatan ini Ia lakukan ketika jam istirahat dengan membantu menjadi staf penjualan di koperasi. Koperasi siswa di sekolah Ia menjual beragam makanan ringan, alat tulis serta buku-buku pelajaran. Pada jam istirahat koperasi selalu penuh sehingga membutuhkan tenaga pembantu. Sebagai imbalannya biasanya Ia mendapatkan jatah makan siang dan pada akhir tahun mendapatkan sisa hasil usaha.

Menjadi Mahasiswa Universitas Indonesia
Ia masuk Universitas Indonesia melalui jalur PMDK angkatan 2003. Alasannya mungkin cukup klise yakni karena Ia dari awal sudah tidak ingin dan tidak mampu secara finansial dalam mengikuti SPMB. Ia harus tahu diri dengan keadaan keluarga Ia. Namun, nasib berkata lain dan mungkin semuanya terjadi karena kebetulan saja. Pada waktu itu, PMDK UI merupakan salah satu PMDK yang ada lebih awal daripada PMDK dari universitas-universitas lainnya. SMU 2 Jombang mendapatkan jatah 3 formulir untuk IPA dan 3 formulir untuk IPS. Untuk IPS, ternyata formulir masih tersisa karena peminat PMDK UI tergolong sedikit. Karena Ia waktu itu termasuk peringkat 2 jurusan IPS, akhirnya Ia disuruh oleh guru BP SMU untuk mengambil formulir tersebut. Tanpa berpikir panjang serta didorong oleh rasa ingin tahu yang kuat akan Jakarta, Ia memilih jurusan antropologi dalam mengisi formulir PMDK tersebut. Kenapa antropologi? Sederhana karena waktu itu nilai antropologi Ia medekati sempurna, yakni di angka 9.

Ketika menunggu pengumuman PMDK dan ketika teman-teman Ia sedang sibuk-sibuknya mengikuti bimbingan belajar, Ia harus bangun dari khayalan Ia. Waktu itu, Ia hanya bisa berdoa agar Tuhan memberikan hasil yang terbaik. Setidaknya Ia bersyukur bahwa sudah bisa sekolah dan lulus dari SMU favorit saja sudah merupakan berkah yang membahagiakan bagi Ia. Menunggu kelulusan, membuat Ia harus bergerak dan bekerja, Ia inyat pamannya kerja tambal ban di jalan Porong Sidoarjo. Ia sempat sedih karena ilmu Ia yang Ia dapat selama SMU seakan tidak berguna ketika Ia harus menjadi tukang tambal ban sementara waktu.

Ia sempat diam-diam ikut seleksi masuk Akademi Perikanan di Sidoarjo, dan hasilnya Ia diterima. Namun, Ia tidak diperbolehkan paman dan ortu Ia mengingat menempuh pendidikan di situ memerlukan biaya yang mahal dan pendidikannya bersifat semi militer. Sembari menunggu orang yang ingin menambal bannya, Ia menyempatkan diri untuk membaca buku-buku tes STAN. Namun keinginan Ia untuk berkuliah di STAN lagi-lagi ditolak oleh kedua orang tua nya. Alhamdulillahnya, ketika pengumuman PMDK sudah ada, Ia ternyata berhasil diterima. Hasil ini sebenarnya Ia tanggapi dengan respon biasa saja bahkan kesedihan nya justru mulai tumbuh apalagi setelah melihat biaya yang harus Ia bayar mencapai 2 juta rupiah.

Setelah mengetahui pengumuman ini, tubuh Ia tiba-tiba menjadi kurus karena Ia pusing memikirkan bagaimana menindaklanjuti pengumuman PMDK tersebut. Orang tua Ia juga jatuh sakit. Untungnya Ia banyak dibantu pihak sekolah agar bisa berangkat ke Depok dimana UI berada. Dengan modal nekat dan dibantu oleh beberapa pihak, akhirnya Ia berangkat ke Depok pada 28 Juni 2003 dengan menaiki kereta.

Setibanya di UI, Ia dibantu salah satu keluarga dari guru SMU Ia untuk sementara tinggal di kontrakan yang dimilikinya. Ia mendapatkan keringanan untuk pembayaran SPP. Ternyata di UI, menyediakan beragam beasiswa dan kemudahan bagi kita untuk mengembangkan kreativitas, entah bekerja part time misalnya dengan mengajar privat dan lain sebagainya. Jadi sebenarnya masalah finansial bukanlah halangan utama bagi Ia dan teman-teman semua jika memang kita punya niatan kuat untuk belajar di Universitas Indonesia. Terlebih saat ini di UI banyak sekali program beasiswa yang tidak hanya berupa pembebasan uang pendidikan namun juga memberikan uang saku bulanan, latihan kepemimpinan dan lain sebagainya.

Selama kuliah di tahun pertama, Ia fokus kuliah dan belajar akademis. Memasuki tahun-tahun berikutnya, Ia mulai aktif mengajar les, mengajar mengaji, membuat tulisan di majalah, sampai membantu sebuah keluarga untuk membersihkan rumahnya (kerja apapun untuk bertahan hidup, asalah pekerjaan tersebut halal). Semua itu Ia lakukan di sela-sela kesibukan kuliah. Selain itu Ia juga sempat bekerja sebagai freelance di Kompas, peneliti di Radio Indika FM dan masih banyak lagi. Di titik ini, Ia sadar bahwa Ia harus pintar membagi waktu. Alhamdulillah, Ia bisa mendapatkan beasiswa pada semester tiga, yang mana beasiswa tersebut tentunya bisa membantu Ia memenuhi kebutuhan bulanan nya.

Kesan Selama Berkuliah di Universitas Indonesia
Mengenai kesan kuliah di UI. Ia banyak mendapatkan keuntungan. Hidup di Jakarta ternyata juga menambah jumlah keluarga baru bagi Ia. Ia mendapatkan beberapa keluarga baru semenjak tinggal di Jakarta. Berkah dari sikap Ia yang selalu berhubungan baik dengan orang-orang baik yang ada di sekitar Ia. Prinsip Ia adalah mendapatkan teman baik adalah mudah, mempertahankan hubungan baik itu untuk tetap bersilaturahmi dengan kita, itu yang susah! Dari mereka, Ia mendapatkan banyak link dalam mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Ia bisa jalan-jalan dan penelitian di berbagai daerah. (yang jelas harus pintar menjaga diri dari pergaulan yang tidak baik). Prinsip nya, berusaha berpikir positif, jangan pernah menyesal, kita harus selalu kreatif dan berusaha, walaupun pelan-pelan. Allah itu maha mendengar, jadi setiap usaha dan doa kita pasti ditindaklanjuti oleh-Nya.

Walaupun tidak didukung secara finansial, namun keluarga di kampung mendoakan Ia. Sejak awal mereka tidak bisa mengirimi uang untuk biaya hidup di Jakarta. Mereka hanya bisa berpesan agar berhati-hati ketika belajar dan bergaul di Jakarta. Ia mau tidak mau harus legowo akan keadaan ini. Ia mendengarkan saja nasihat mereka dan tetap kontinyu memberi kabar, keadaan Ia di Jakarta. Keluarga bagi Ia sangat penting. Sama pentingnya dengan orang-orang yang ada di sekitar Ia, yang Ia anggap sebagai keluarga Ia juga, misalnya pak kyai, guru ngaji, guru SMU dan lain sebagainya. Mereka semua juga berjasa dalam membimbing dan membesarkan Ia.

Pada waktu itu Ia tetap berhubungan dengan guru SMP Ia sehingga Ia diperkenalkan dengan saudaranya yang merupakan dosen di Fakultas Teknik UI, dan akhirnya menjadi orang tua asuh Ia selama 2 tahun. Sampai sekarang Ia masih berhubungan baik dengan beliau. Dari keluarga beliau Ia mendapatkan makna hidup, bahwa hidup harus berguna dengan sesama, serta waktu harus dipergunakan sebaik mungkin untuk belajar dan berjuang. Awalnya Ia sangat susah menjalani itu semua karena Ia hidup sendiri di Jakarta. Ada beberapa nasehat yang masih Ia terapkan dalam hidup Ia, yaitu agar tidak lupa keadaan hidup Ia pada masa lampau. Ibu asuh Ia meyakinkan kepada Ia bahwa Ia tidak boleh melupakan masa pahit Ia sebelumnya.


Ia berusaha untuk ikhlas  dalam menghadapi segala kenyataan hidup yang Ia jalani. Setiap bertemu dengan teman, adik kelas, dan sebagainya Ia selalu memberikan cerita bahagia, cerita semangat dan hal-hal yang membuat kita maju (karena dengan cerita-cerita ini, secara tidak langsung Ia juga ikut terpacu untuk berbuat lebih baik). Dan ini bukan hanya cerita saja, tapi Ia bisa membuktikannya. Ia ikhlas, waktu itu sebelum berangkat kuliah ke Jakarta, Ia dicemooh beberapa warga yang mengatakan, Ia sombong, tidak tahu diri, tidak berkaca dengan keadaan keluarga, dan sebagainya. Ia sangat berjuang waktu itu, walaupun dengan modal nekat dan seadanya namun Alhamdulillah pada Agustus 2007, Ia berhasil menjadi sarjana. Selepas wisuda, Ia langsung bekerja di Radio Indika FM. Setelah bekerja di radio tersebut, Ia bekerja di SCTV, ya stasiun televise yang mengenalkan Ia pada dunia hiburan atau entertainment. Namun, sayangnya walaupun gaji Ia waktu itu pas-pasan, Ia cenderung betindak konsumtif. Membeli kopi mahal, berburu pakaian ketika ada great sale dan sebagainya adalah kebiasaan Ia. Untungnya Ia bisa mengendalikan tindakan konsumtif tersebut ketika mengingat keadaan ekonomi keluarga Ia di kampung halaman.

Melanjutkan Pendidikan S2
Melihat banyak teman Ia melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang S2, membuat Ia juga ingin melakukan hal yang sama. Ia terpacu dengan semangat mereka untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Ia menyadari bahwa suara jiwa Ia adalah meningkatkan kualitas ilmu Ia dan mengabdi di dunia pendidikan. Atas dasar itu, Ia mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Waktu itu ada pilihan antara masih bekerja di SCTV dan nyaliah pada malam hari. Namun biayanya sangat mahal dan bukan jurusan Antropologi seperti yang syaa inginkan. Akhirnya Ia nekad untuk keluar dari SCTV dan kembali ke kampus UI depok. Setelah Ia tidak bekerja lagi, Ia sudah jarang mengikuti acara atau kegiatan dengan teman-teman kantor dan Ia lebih sering beraktivitas di sekitar kampus. Ia mulai berhubungan kembali dengan teman-teman dari daerah, teman teman kampus dan lain sebagainya.

Sebelumnya Ia sempat gagal seleksi administrasi untuk program beasiswa ke Australia, usut punya usut, karena kemampuan Bahasa Inggris Ia yang tidak memenuhi persyaratan. Walaupun demikian, Ia tetap melanjutkan pendidikan S2 Ia di Universitas Indonesia. Biaya S2 jurusan antropologi cunyap mahal mencapai 6,6 juta rupiah per semester, namun walaupun tanpa beasiswa, Ia nekat untuk mengambil program tersebut. Alhamdulilah, Ia bisa bekerja paruh waktu di Lembaga Penelitian UI dan menjadi peneliti lepas untuk riset-riset profesor Ia. Ia masih tetap sibuk dengan beragam pekerjaan di kampus yang meningkatkan kualitas keilmuan Ia.

Sekarang Ia mulai memasuki semester 3 di Pascasarjana Antropologi. Perjuangan Ia masih panjang. Tahapan-tahapan lain masih banyak yang belum Ia hadapi. Ia berharap dapat melalui tahapan tersebut dengan hasil yang memuaskan. Selain itu Ia masih berkeinginan untuk mempelajari semua kebudayaan yang masuk dan membentuk pribadi Ia. Sampai sekarang, makna dan karakter Ia terbentuk dari lingkungan yang membesarkan Ia. Semoga Ia dapat mencapai apa yang Ia cita-citakan dan mampu membentuk diri Ia menjadi manusia yang lebih bijaksana dan berkualitas.

Untuk adik-adik dan semua yang membaca kisah ini, semoga semuanya dapat bersemangat untuk mencapai cita-citanya. Teruslah bermimpi, karena dengan mimpi kalian akan mempunyai semangat untuk mewujudkannya. Hapuslah semua ketanyatan untuk berkuliah di UI termasuk terkait dengan biaya pendidikan. Percayalah, tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia ini. Jika kita berusaha dan berdoa dengan tulus, Insya Allah, Allah SWT akan mendengarkan doa kita. Ayo, semangat teman-teman semua! Ayo tingkatkan kualitas hidup kalian! Selamat berjuang!

*Tulisan ini pernah dimuat di website Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia  (click disini), yakni di bagian Profil Penerima Beasiswa YKAI.

3 komentar:

  1. wah...terima kasih ya..saya jadi malu, tulisan saya ada di sini..oh ya saya sudah lulus S2 dan skrg menjadi dosen di salah satu Univ Negeri di Malang skjaligus tetap meneliti di berbagai daerah

    BalasHapus
  2. Tapi kan udah keluar dari universitas negeri di malang. Karena masalah apa tuh? Masalah sesama dosen ya?

    BalasHapus
  3. sekarang jadi apa abis di depak dr univ negri di mlg?

    BalasHapus