15 Jan 2013

Pentingkah Nilai Bahasa Inggris kita???

Kisah Inspiratif Mereka (Part 1)

DUNIA akademik senantiasa penuh dengan mitos-mitos. Banyak yang menganggap bahwa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, maka kemampuan bahasa Inggris adalah yang paling utama dan segala-galanya. Tapi tahukah kamu bahwa Prof Rhenald Kasali, seorang pakar manajemen terkemuka, berangkat kuliah ke Amerika Serikat (AS) dengan bahasa Inggris pas-pasan? Tahukah kamu bahwa Prof Yohannes Surya juga berangkat ke Amerika dengan kondisi bahasa Inggris yang juga hancur-hancuran? Emejinx bukan? hahahaha


Beberapa waktu silam, di acara KickAndy, Rhenald Kasali, yang mendapatkan master dan PhD di Amerika Serikat, berterus-terang kalau dirinya tak bisa bahasa Inggris saat lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Ia sempat memaksa diri untuk belajar bahasa Inggris di tanah air selama beberapa bulan. Ternyata, ia masih saja kesulitan berbahasa. Akhirnya ia nekad untuk berangkat ke Amerika dan mencari program belajar bahasa selama tiga bulan.

Lain lagi dengan Yohannes Surya. Pakar fisika, yang sukses mengorbitkan siswa-siswa cerdas Indonesia hingga meraih 75 medali emas olimpiade fisika ini, hanya memiliki Toefl 415 saat mengajukan beasiswa ke Amerika Serikat. Memang, ia telah mendapatkan rekomendasi dari seorang professor fisika yang pernah ke Indonesia, tapi dirinya tak bisa ngomong dalam bahasa Inggris. Masalah paling besar muncul karena ia diwajibkan untuk mengajar mahasiswa di program sarjana di kampus Amerika.
Tantangan itu lalu dihadapinya. Ia lalu bergerilya mencari beasiswa yang tidak mensyaratkan nilai Toefl. Ia pun juga mencari kampus yang tidak terlalu peduli dengan nilai Toefl. Hingga akhirnya ia berhasil diterima di College of William and Mary, Virginia, yang program fisikanya masuk urutan lima besar di Amerika. Akhirnya masuklah Yohannes Surya, hingga akhirnya berhasil lulus dengan peringkat summa cumlaude atau IPK 4,00, sebuah prestasi yang amat mengesankan untuk orang yang pada awalnya tidak dapat berbahasa Inggris.

Kisah keduanya adalah kisah yang menarik untuk ditelaah. Saya sering bertemu banyak orang hebat dan cerdas, namun sama sekali tak ada keinginan untuk kuliah di luar negeri. Padahal, dengan kecerdasan seperti itu, ia bisa bersinar di negeri orang. Saat saya tanyai, maka jawabannya selalu pada kemampuan bahasa Inggris. Ternyata, banyak yang tidak mau menjajal kemampuan untuk ikut seleksi beasiswa karena semata-mata minder dengan kemampuan bahasa Inggris.
Dan banyak pula teman teman saya yang takut (minder) walau baru dalam tahap tes seleksi karena melihat kualitas kompetitor yang jauh diatas mereka, jujur saja alasan alasan sepele itu tidak pernah membuat saya kecil hati. Saya yakin,sesuatu yang diawali dengan tekad,niat,dan percaya yang kuat pasti akan berhasil dan menemukan jalan yang indah pada waktunya.
Pertanyaannya, apakah bahasa Inggris adalah faktor paling utama untuk lulus beasiswa? Lantas, ketika bahasa Inggris kita pas-pasan, apakah kita tidak punya kesempatan untuk belajar di satu kampus bergengsi di luar negeri?
Nah, inilah yang saya sebut sebagai mitos-mitos dalam dunia pendidikan. Sewaktu kecil, saya sering mendengar mitos tentang sulitnya belajar matematika. Saat belajar di sekolah menengah, saya kembali mendengar mitos tentang sulitnya bahasa Inggris. Mitos ini membuat banyak mahasiswa (pelajar) hebat takut mencoba berbagai kesempatan untuk melanjutkan studi di luar negeri. Banyak pula yang merasa bakal tidak mendapatkan lapangan kerja yang memadai.
Nama penulis artikel ini situs ini masuk dalam 50 orang daftar penerima beasiswa dari seluruh Indonesia. Selama berinteraksi dengan mereka, ia akhirnya berkesimpulan bahwa faktor paling penting dari setiap seleksi beasiswa bukanlah bahasa Inggris. Yang paling penting adalah gagasan serta keunikan yang dimiliki seseorang. Dalam semua proses seleksi beasiswa, kita harus bisa meyakinkan para juri bahwa kita adalah pribadi yang unik, punya orisinalitas, punya gagasan yang beda dari yang lain.


Dengan kemampuan bahasa yang pas-pasan, ia lalu belajar di kampus Ohio University di Amerika Serikat (AS). Ia merasakan sendiri bagaimana menjalani kuliah dengan kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan. Namun, publik Amerika dan mahasiswa international, tak pernah sedikitpun meremehkan atau mentertawakan kemampuannya. Ini sangat beda dengan belajar bahasa Inggris di Indonesia, yang belum apa-apa sudah ditertawakan atau diremehkan. Di luar negeri, semesta di sekitar kita menjadi unsur yang membantu kita untuk melejitkan kemampuan bahasa.

Sebagaimana Rhenald dan Yohannes, ia meyakini bahwa kemampuan bahasa Inggris bukanlah segala-galanya. Banyak yang ke Amerika dengan bahasa Inggris hebat, khususnya dari golongan kaya di Indonesia, yang prestasinya biasa saja. Nilainya pas-pasan, padahal kemampuan bahsa Inggrisnya mendekati mahasiswa asing, sebab boleh jadi, sang mahasiswa lahir dan besar di luar negeri. Mengapa demikian? Sebab mereka hanya menekankan kemampuan bahasa, tanpa menghadirkan keunikan,orisionalitas,serta gagasan yang berbeda dan memotivasi.
Logikanya, meskipun anda jago ngomong bahasa Inggris, tapi jika anda tak tahu hendak mengomongkan apa, maka itu sama saja dengan nol. Sementara di saat bersamaan, ada yang tak lancar bahasa Inggris, tapi saat itu mencoba menyampaikan sesuatu gagasan yang substansial dan bernas, yang  bersumber dari pengalaman serta refleksi yang kuat, maka pastilah sosok ini yang mendapatkan apresiasi.
Artinya, bahasa Inggris hanyalah alat untuk menyampaikan ide, sesuatu yang amat penting dan lahir dari kontemplasi dan interpretasi atas kenyataan. Bahasa hanyalah jalan tol agar kendaraan gagasan bisa meluncur di lalu-lintas ide. Sebagai alat, bahasa bukanlah segala-galanya. Yang paling penting adalah gagasan serta keberanian untuk menyampaikannya, yang meskipun dalam kondisi yang terbata-bata, namun tetap tidak kehilangan substansinya.Pengalaman ini memberikan pelajaran bahwa di luar aspek bahasa, terdapat aspek yang lebih penting yakni ide atau gagasan, serta kemampuan bertahan atau daya-daya survival dalam menghadapi dan memecahkan semua persoalan.Tanpa kemampuan itu, kemampuan bahasa jadi tak ada apa-apanya. Malah, kalaupun dipaksakan ngomong, yang muncul adalah bualan atau omong besar yang tidak didasari penalaran yang jernih.
Setelah setahun belajar dengan kemampuan bahasa yang masih pas-pasan, saya masih bisa bernapas lega. Setidak-tidaknya, saya masih bisa survive di sini. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, saya bisa mendapatkan nilai terbaik di setiap kelas yang saya ambil.
Satu hal yang paling penting adalah buka mata dan buka telinga untuk selalu belajar dari apapun disekitar. Jangan mau terjebak dengan mitos tentang suatu mata pelajaran yang dirasa berat (ex Bahasa Inggris). Ciptakan keyakinan baru bahwa bahasa inggris itu bukan segala-galanya. Jajal semua seleksi beasiswa, jangan pernah minder dengan kemampuan berbahasa yang pas-pas an. Toh,bahasa inggris akan mudah dipelajari sambil mempelajari hal-hal lainnya. Kita harus belajar kepada tokoh- tokoh diatas yang bahasa inggrisnya pas-pas an namun bisa meraih gelar Summa Cumlaude di universitas bergengsi di AS.

Athens, 17 Agustus 2012 (dengan perubahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar