Kisah - Kisah Inspiratif Mereka (part 3)Cerita Inspiratif Seorang Sipin Putra: Perjuangannya Masih Panjang
“Sipin Putra adalah mahasiswa jurusan antropologi UI angkatan
2003, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 jurusan antropologi di
Pascasarjana UI”
-
Latar Belakang
Keluarga Sipin Putra
Ia mempunyai motivasi
belajar di UI yaitu, karena UI merupakan kampus terbaik di Indonesia dan
berada di Jakarta, yang merupakan ibu kota Indonesia. Bagi Sipin, Jakarta
menyediakan segalanya dan menjadi kiblat dari denyut perekonomian dan kehidupan
dari wilayah Indonesia yang lainnya. Program televisi yang sering ia tonton,
terutama sinetron remaja, iklan, dan sebagainya, membuat Ia ingin merasakan
belajar sekaligus tinggal di Jakarta. Ia masih polos, tidak memikirkan kehidupan bebas
dan hambatan yang mungkin ada di Jakarta. Kalau orang Jawa bilang “wes
kadhong kepincut!” mengingat Jakarta merupakan pusat kota yang sering
digambarkan sebagai kota yang modern dan metropolitan. Berinyat ini sedikit
sekelumit cerita yang pernah Ia alami dan rasakan ketika menjadi siswa SMU dan
mahasiswa Universitas Indonesia.
Ia berasal dari
keluarga yang sangat miskin, bapaknya hanya seorang tukang becak di Mojoagung,
bapak sudah sering sakit-sakitan, sedang ibu hanya seorang ibu rumah tangga.
Yang lebih parah, bapaknya tidak tamat SD, ibunya tidak tamat MI, malah
kesulitan untuk baca tulis. Benar bahwa ibu Sipin merupakan orang yang sangat
pemalu. Iya tumbuh dari kecil sampai menamatkan SMU di Jombang. Dari kecil ia
terlihat cerdas dan mempunyai minat belajar tinggi. Ia tumbuh dan besar dengan
mendapatkan nasihat dan pandangan hidup dari banyak orang. Ia tumbuh menjadi
anak yang beretos kerja keras. Ia diajarkan oleh guru SD Ia pada waktu
itu untuk lebih rajin bertanya dan selalu duduk di bangnya barisan depan.
Beragam ilmu Ia dapatkan bukan hanya di bangnya sekolah saja, tetapi dimana
saja, termasuk tempat ketika Ia bermain, di ladang, ketika Ia membantu Pakdhe
menjaga sapi-sapinya, di rumah kakek dengan beragam tokoh wayang kulitnya, di
rumah pak kyai dengan beragam buku-buku Islaminya dan sebagainya.
Pada waktu remaja, Ia
berpikiran bahwa Ia mendapatkan pencerahan, kebijaksanaan, hiburan, wawasan
berasal dari luar rumah. Kenapa Ia berpikiran seperti itu? Kondisi rumah Ia
pada waktu itu, tidak memungkinkan Ia untuk dapat belajar dengan baik. Rumah Ia
dengan segala keterbatasan fasilitasnya tidak dapat memungkinkan Ia untuk
tumbuh dengan baik. Namun Ia tidak boleh menyalahkan keadaan orang tua Ia.
Keadaan orang tua yang serba minim termasuk dari segi pengetahuan juga tidak
boleh Ia salahkan. Semua itu bukan menjadi hambatan bagi Ia untuk belajar
hingga mampu memaknai hidup. Ia masih tetap bersyunyar dengan keadaan seperti
itu. Dengan keadaan seperti itu, Ia mendapatkan banyak pengetahuan di luar
rumah dan menjadi dekat dengan banyak orang di sekitar Ia.
Masa-Masa SMA
Pada awal mula menjadi
siswa SMU 2 Jombang, Ia mengajukan keringanan SPP. Sewaktu melakukan daftar
ulang, Ia mengajak bapak untuk menghadap ke Kepala sekolah. Ia memberanikan
untuk menghadap, walaupun saat itu, pihak sekolah tidak membuka keringanan SPP.
Ia akhirnya mendapatkan potongan 50 % dari biaya pendidikan yang ada, yang pada
waktu itu nominal yang harus dibayar kalau tidak salah sebesar Rp 20.000,00
(kelas 1), Rp 22.000,00 (kelas 2), dan Rp 35.000,00 (kelas 3). Ia, yang waktu
itu merupakan siswa SMU 2 Jombang, sering merasa malu karena keadaan kedua
orang tua Ia mengingat semua teman-teman SMU waktu itu berasal dari keluarga
menengah ke atas. Apalagi mengingat hanya ada empat orang siswa SMU 2 Jombang
yang berasal dari SMP tempatnya berasal. Namun demikian, Ia tetap
optimis dan bersemangat untuk menuntut ilmu di salah satu sekolah terbaik di
Jombang ini. Waktu itu, Ia berusaha menutupi latar belakang keluarga Ia di mata
teman-teman (yang mana hal ini tidak patut dicontoh oleh teman-teman lainnya)
Masa remaja Ia
berjalan dengan indah. Hidup sederhana di desa dan belum terpikir untuk
mimpi-mimpi yang besar. Ketika semester 1, di kelas 1 SMU, merupakan awal mulanya
masa-masa sulit nya untuk menyesuaikan ritme belajar di sekolah favorit ini.
Setiap hari Ia harus bangun pagi-pagi sekali sekitar pukul 05.00 untuk
persiapan berangkat sekolah. Jam masuk sekolah tiap hari pada pukul 06.30 WIB.
Pada pukul 05.30 Ia sudah harus berangkat dengan mengayuh sepeda menuju jalan
raya untuk kemudian naik angkutan umum. Setiap hari Ia mengayuh sepeda
sepanjang 4 KM. Perjalanan naik angkutan umum membutuhkan waktu 30-45 menit.
Hal ini dikarenakan Ia tinggal di desa yang berada di kota kecamatan.
Sedangkan letak SMUN 2 berada di pusat kota Jombang. Setiap hari Ia melewatinya
dengan melelahkan. Ia setiap hari pulang sekolah pukul 15.00 WIB.
Ia kelihatan kurus
karena harus belajar dengan keras. Jumlah bunya-bunya yang Ia miliki sangat
sedikit karena Ia tidak punya uang untuk membeli buku-buku pelajaran yang
layak. Biasanya Ia lebih rajin mencatat dan meminjam buku bacaan ke teman
kemudian di rumah Ia catat bunya bacaan tersebut ke bunya tulis Ia. Di rumah Ia
belum ada televisi pada waktu itu, sehingga kalau malam hari Ia lebih fokus
belajar dan mengerjakan PR. Hanya radio yang menjadi sarana hiburan Ia ketika Ia
bosan belajar. Agak menyedihkan memang karena teman-teman SMU Ia yang lain
sudah sering membicarakan program-program TV yang mereka tonton dalam obrolan
mereka sehari-hari. Program-program itu antara lain drama dari Taiwan, Meteor
Garden, F4 serta beberapa judul program lain. Awalnya Ia malu, karena Ia tidak
tahu dan belum pernah melihat acara tersebut. Namun Ia berusaha menutupi
keadaan keluarga Ia dengan ikutan mengobrol dengan mereka (sekedar informasi,
demi bisa nyambung mengobrol tentang program TV dengan teman SMU, Ia kadang
harus menonton TV di rumah tetangga). Biasanya kalau Ia pulang sekolah, sebelum
naik angkutan umum menuju desa Ia, Ia mampir ke loper koran dan majalah untuk
sekedar mengetahui nama-nama artis yang sedang beken pada masa itu. Dari
informasi sekilas di halaman muka koran tersebut Ia dapat ikut bergabung
mengobrol dengan teman-teman SMU. Kalau ingat pada masa itu, kadang Ia tertawa
lucu dan malu sendiri. Tak berlangsung lama teman-teman sekolah mulai tahu
keadaan sosial ekonomi keluarga Ia. Yang Ia ingat, salah satu dari mereka
pernah berkata, “Sipin, kamu mampu menutupi segala kekurangan kamu dengan
perilakumu, dan kami semua tidak mengira kamu berasal dari keluarga yang
seperti ini. Kami salut kepada kamu karena kamu pantang menyerah untuk sekolah
di tempat jauh dan berbeda dengan anak-anak di sini”.
Menginjak kelas 3, Ia
mulai bersikap dewasa dan mengambil keputusan sendiri mengenai pilihan hidup.
Pada waktu itu, setiap hari Ia sekolah berangkat pagi dan pulang menjelang
malam. Ada tetangga yang mengatakan bahwa Ia sebagai anak kampung yang sombong,
pilih sekolah SMU saja yang jauh, pulang sampai malam, padahal orang tua Ia
tidak mampu. Ia memahami mengapa mereka berpikiran dan berkata seperti itu
mengingat banyak teman-teman Ia di kampung yang lebih banyak memilih sekolah di
STM bahkan ada yang DO karena menjelang kelas 3, dikenakan biaya PKL.
Sedangkan Ia memilih SMU, karena pilihan pribadi Ia, nilai Ia mencukupi untuk
masuk sekolah tersebut.
Alhasil di desa Ia, hanya
Ia saja yang sekolah di SMU 2 Jombang. Walaupun orang tua Ia tidak mampu
namun Ia tetap nekad dan berani belajar di sekolah tersebut, dan akhirnya Ia
mendapatkan keringanan. Pada waktu itu, Ia berpikir jika Ia sekolah di STM,
mungkin Ia tidak mendapatkan keringanan seperti di SMU tersebut. Ia memberi
pengertian kepada ibu nya agar jika ditanya tetangga, menjawab seperti yang Ia
jelaskan. Awal kelas 3, Ia sudah mulai sibuk untuk fokus dengan kelulusan.
Kegiatan pengajian, mulai Ia kurangi. Kegiatan sekolah mulai padat karena
ditambah dengan les hingga sore hari. Ia mulai fokus dengan belajar agar dapat
lulus dengan nilai bagus. Namun pada saat itu di rumah Ia, baru dibelikan kakak
sebuah televisi. Ada hiburan televisi membuat Ia harus benar-benar mengatur
waktu. Pada waktu itu, ibu Ia sangat suka menonton televisi, apalagi dengan
suara keras. Ia merasa terganggu, akhirnya kadang Ia mengingatkan beliau. Namun
kadang Ia masih terasa terganggu sehingga Ia lebih suka belajar di rumah teman.
Sungguh orang tua nya kadang tidak mengerti dengan keadaan dan ambisi nya pada
waktu itu.
Pertengahan kelas 3, Ia
mulai tidak aktif dengan kegiatan pengajian di kampung. Ia kadang merasa sedih,
karena orang tua kurang begitu mendukung keadaan Ia yang akan segera
menghadapi Ujian Akhir. Kadang Ia lebih suka menginap di rumah teman SMU,
sambil membawa buku-buku pelajaran. Ia kadang merasa sedih, karena Ia tidak
seberuntung dengan teman-teman SMU. Mereka selain mendapatkan jam tambahan
belajar di sekolah, mereka juga menambah les di bimbingan belajar dan tentunya
mendapat dunyangan dari orang tua mereka. Beruntung ketika Ia meminjam buku les salah satu teman, dia memperbolehkan Ia untuk memotokopi bunya tersebut. Ia
menjadi semakin sedih ketika melihat semakin banyak teman Ia yang membicarakan
tentang rencana pernyaliahan mereka. Tidak hanya itu, biaya yang dibutuhkan
selama kelas 3 juga semakin berat mulai dari biaya les tambahan di sekolah, buku yang harus dibeli dan biaya lainnya. Ia menyiasatinya dengan ikut kegiatan
koperasi sekolah. Kegiatan ini Ia lakukan ketika jam istirahat dengan membantu
menjadi staf penjualan di koperasi. Koperasi siswa di sekolah Ia menjual
beragam makanan ringan, alat tulis serta buku-buku pelajaran. Pada jam
istirahat koperasi selalu penuh sehingga membutuhkan tenaga pembantu. Sebagai
imbalannya biasanya Ia mendapatkan jatah makan siang dan pada akhir tahun
mendapatkan sisa hasil usaha.
Menjadi Mahasiswa
Universitas Indonesia
Ia masuk Universitas
Indonesia melalui jalur PMDK angkatan 2003. Alasannya mungkin cukup klise
yakni karena Ia dari awal sudah tidak ingin dan tidak mampu secara finansial
dalam mengikuti SPMB. Ia harus tahu diri dengan keadaan keluarga Ia. Namun,
nasib berkata lain dan mungkin semuanya terjadi karena kebetulan saja. Pada
waktu itu, PMDK UI merupakan salah satu PMDK yang ada lebih awal daripada PMDK
dari universitas-universitas lainnya. SMU 2 Jombang mendapatkan jatah 3
formulir untuk IPA dan 3 formulir untuk IPS. Untuk IPS, ternyata formulir masih
tersisa karena peminat PMDK UI tergolong sedikit. Karena Ia waktu itu termasuk
peringkat 2 jurusan IPS, akhirnya Ia disuruh oleh guru BP SMU untuk mengambil
formulir tersebut. Tanpa berpikir panjang serta didorong oleh rasa ingin tahu
yang kuat akan Jakarta, Ia memilih jurusan antropologi dalam mengisi formulir
PMDK tersebut. Kenapa antropologi? Sederhana karena waktu itu nilai antropologi Ia
medekati sempurna, yakni di angka 9.
Ketika menunggu
pengumuman PMDK dan ketika teman-teman Ia sedang sibuk-sibuknya mengikuti
bimbingan belajar, Ia harus bangun dari khayalan Ia. Waktu itu, Ia hanya bisa
berdoa agar Tuhan memberikan hasil yang terbaik. Setidaknya Ia bersyukur bahwa
sudah bisa sekolah dan lulus dari SMU favorit saja sudah merupakan berkah yang
membahagiakan bagi Ia. Menunggu kelulusan, membuat Ia harus bergerak dan
bekerja, Ia inyat pamannya kerja tambal ban di jalan Porong Sidoarjo. Ia sempat
sedih karena ilmu Ia yang Ia dapat selama SMU seakan tidak berguna ketika Ia
harus menjadi tukang tambal ban sementara waktu.
Ia sempat diam-diam ikut
seleksi masuk Akademi Perikanan di Sidoarjo, dan hasilnya Ia diterima. Namun, Ia
tidak diperbolehkan paman dan ortu Ia mengingat menempuh pendidikan di situ
memerlukan biaya yang mahal dan pendidikannya bersifat semi militer. Sembari
menunggu orang yang ingin menambal bannya, Ia menyempatkan diri untuk membaca
buku-buku tes STAN. Namun keinginan Ia untuk berkuliah di STAN lagi-lagi
ditolak oleh kedua orang tua nya. Alhamdulillahnya, ketika pengumuman PMDK sudah
ada, Ia ternyata berhasil diterima. Hasil ini sebenarnya Ia tanggapi dengan
respon biasa saja bahkan kesedihan nya justru mulai tumbuh apalagi setelah
melihat biaya yang harus Ia bayar mencapai 2 juta rupiah.
Setelah mengetahui
pengumuman ini, tubuh Ia tiba-tiba menjadi kurus karena Ia pusing memikirkan
bagaimana menindaklanjuti pengumuman PMDK tersebut. Orang tua Ia juga jatuh
sakit. Untungnya Ia banyak dibantu pihak sekolah agar bisa berangkat ke Depok
dimana UI berada. Dengan modal nekat dan dibantu oleh beberapa pihak, akhirnya Ia
berangkat ke Depok pada 28 Juni 2003 dengan menaiki kereta.
Setibanya di UI, Ia
dibantu salah satu keluarga dari guru SMU Ia untuk sementara tinggal di
kontrakan yang dimilikinya. Ia mendapatkan keringanan untuk pembayaran SPP. Ternyata
di UI, menyediakan beragam beasiswa dan kemudahan bagi kita untuk mengembangkan
kreativitas, entah bekerja part time misalnya dengan mengajar
privat dan lain sebagainya. Jadi sebenarnya masalah finansial bukanlah halangan
utama bagi Ia dan teman-teman semua jika memang kita punya niatan kuat untuk
belajar di Universitas Indonesia. Terlebih saat ini di UI banyak sekali program
beasiswa yang tidak hanya berupa pembebasan uang pendidikan namun juga
memberikan uang saku bulanan, latihan kepemimpinan dan lain sebagainya.
Selama kuliah di
tahun pertama, Ia fokus kuliah dan belajar akademis. Memasuki tahun-tahun
berikutnya, Ia mulai aktif mengajar les, mengajar mengaji, membuat tulisan di
majalah, sampai membantu sebuah keluarga untuk membersihkan rumahnya (kerja
apapun untuk bertahan hidup, asalah pekerjaan tersebut halal). Semua itu Ia lakukan
di sela-sela kesibukan kuliah. Selain itu Ia juga sempat bekerja sebagai freelance di
Kompas, peneliti di Radio Indika FM dan masih banyak lagi. Di titik ini, Ia
sadar bahwa Ia harus pintar membagi waktu. Alhamdulillah, Ia bisa mendapatkan
beasiswa pada semester tiga, yang mana beasiswa tersebut tentunya bisa membantu
Ia memenuhi kebutuhan bulanan nya.
Kesan Selama Berkuliah
di Universitas Indonesia
Mengenai kesan kuliah
di UI. Ia banyak mendapatkan keuntungan. Hidup di Jakarta ternyata juga
menambah jumlah keluarga baru bagi Ia. Ia mendapatkan beberapa keluarga baru
semenjak tinggal di Jakarta. Berkah dari sikap Ia yang selalu berhubungan baik
dengan orang-orang baik yang ada di sekitar Ia. Prinsip Ia adalah mendapatkan
teman baik adalah mudah, mempertahankan hubungan baik itu untuk tetap
bersilaturahmi dengan kita, itu yang susah! Dari mereka, Ia mendapatkan banyak link dalam
mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Ia bisa jalan-jalan dan penelitian di
berbagai daerah. (yang jelas harus pintar menjaga diri dari pergaulan yang
tidak baik). Prinsip nya, berusaha berpikir positif, jangan pernah menyesal,
kita harus selalu kreatif dan berusaha, walaupun pelan-pelan. Allah itu maha
mendengar, jadi setiap usaha dan doa kita pasti ditindaklanjuti oleh-Nya.
Walaupun tidak didukung
secara finansial, namun keluarga di kampung mendoakan Ia. Sejak awal mereka
tidak bisa mengirimi uang untuk biaya hidup di Jakarta. Mereka hanya bisa
berpesan agar berhati-hati ketika belajar dan bergaul di Jakarta. Ia mau tidak
mau harus legowo akan keadaan ini. Ia mendengarkan saja nasihat mereka dan
tetap kontinyu memberi kabar, keadaan Ia di Jakarta. Keluarga bagi Ia sangat
penting. Sama pentingnya dengan orang-orang yang ada di sekitar Ia, yang Ia
anggap sebagai keluarga Ia juga, misalnya pak kyai, guru ngaji, guru SMU dan
lain sebagainya. Mereka semua juga berjasa dalam membimbing dan membesarkan Ia.
Pada waktu itu Ia
tetap berhubungan dengan guru SMP Ia sehingga Ia diperkenalkan dengan saudaranya
yang merupakan dosen di Fakultas Teknik UI, dan akhirnya menjadi orang tua
asuh Ia selama 2 tahun. Sampai sekarang Ia masih berhubungan baik dengan
beliau. Dari keluarga beliau Ia mendapatkan makna hidup, bahwa hidup harus
berguna dengan sesama, serta waktu harus dipergunakan sebaik mungkin untuk
belajar dan berjuang. Awalnya Ia sangat susah menjalani itu semua karena Ia
hidup sendiri di Jakarta. Ada beberapa nasehat yang masih Ia terapkan dalam
hidup Ia, yaitu agar tidak lupa keadaan hidup Ia pada masa lampau. Ibu asuh Ia
meyakinkan kepada Ia bahwa Ia tidak boleh melupakan masa pahit Ia sebelumnya.
Ia berusaha untuk
ikhlas dalam menghadapi segala kenyataan hidup yang Ia jalani. Setiap
bertemu dengan teman, adik kelas, dan sebagainya Ia selalu memberikan cerita
bahagia, cerita semangat dan hal-hal yang membuat kita maju (karena dengan
cerita-cerita ini, secara tidak langsung Ia juga ikut terpacu untuk berbuat
lebih baik). Dan ini bukan hanya cerita saja, tapi Ia bisa membuktikannya. Ia
ikhlas, waktu itu sebelum berangkat kuliah ke Jakarta, Ia dicemooh beberapa
warga yang mengatakan, Ia sombong, tidak tahu diri, tidak berkaca dengan
keadaan keluarga, dan sebagainya. Ia sangat berjuang waktu itu, walaupun dengan
modal nekat dan seadanya namun Alhamdulillah pada Agustus 2007, Ia berhasil
menjadi sarjana. Selepas wisuda, Ia langsung bekerja di Radio Indika FM.
Setelah bekerja di radio tersebut, Ia bekerja di SCTV, ya stasiun televise yang
mengenalkan Ia pada dunia hiburan atau entertainment. Namun, sayangnya walaupun gaji Ia waktu itu pas-pasan, Ia cenderung betindak konsumtif. Membeli
kopi mahal, berburu pakaian ketika ada great sale dan sebagainya
adalah kebiasaan Ia. Untungnya Ia bisa mengendalikan tindakan konsumtif
tersebut ketika mengingat keadaan ekonomi keluarga Ia di kampung halaman.
Melanjutkan Pendidikan
S2
Melihat banyak teman Ia
melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang S2, membuat Ia juga ingin melakukan
hal yang sama. Ia terpacu dengan semangat mereka untuk menuntut ilmu setinggi
mungkin. Ia menyadari bahwa suara jiwa Ia adalah meningkatkan kualitas ilmu Ia
dan mengabdi di dunia pendidikan. Atas dasar itu, Ia mengambil keputusan untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Waktu itu ada pilihan antara masih
bekerja di SCTV dan nyaliah pada malam hari. Namun biayanya sangat mahal dan
bukan jurusan Antropologi seperti yang syaa inginkan. Akhirnya Ia nekad untuk
keluar dari SCTV dan kembali ke kampus UI depok. Setelah Ia tidak bekerja lagi,
Ia sudah jarang mengikuti acara atau kegiatan dengan teman-teman kantor dan Ia
lebih sering beraktivitas di sekitar kampus. Ia mulai berhubungan kembali
dengan teman-teman dari daerah, teman teman kampus dan lain sebagainya.
Sebelumnya Ia sempat
gagal seleksi administrasi untuk program beasiswa ke Australia, usut punya
usut, karena kemampuan Bahasa Inggris Ia yang tidak memenuhi persyaratan.
Walaupun demikian, Ia tetap melanjutkan pendidikan S2 Ia di Universitas
Indonesia. Biaya S2 jurusan antropologi cunyap mahal mencapai 6,6 juta rupiah
per semester, namun walaupun tanpa beasiswa, Ia nekat untuk mengambil program
tersebut. Alhamdulilah, Ia bisa bekerja paruh waktu di Lembaga Penelitian UI
dan menjadi peneliti lepas untuk riset-riset profesor Ia. Ia masih tetap sibuk
dengan beragam pekerjaan di kampus yang meningkatkan kualitas keilmuan Ia.
Sekarang Ia mulai
memasuki semester 3 di Pascasarjana Antropologi. Perjuangan Ia masih panjang.
Tahapan-tahapan lain masih banyak yang belum Ia hadapi. Ia berharap dapat
melalui tahapan tersebut dengan hasil yang memuaskan. Selain itu Ia masih berkeinginan
untuk mempelajari semua kebudayaan yang masuk dan membentuk pribadi Ia. Sampai
sekarang, makna dan karakter Ia terbentuk dari lingkungan yang membesarkan Ia.
Semoga Ia dapat mencapai apa yang Ia cita-citakan dan mampu membentuk diri Ia
menjadi manusia yang lebih bijaksana dan berkualitas.
Untuk adik-adik dan
semua yang membaca kisah ini, semoga semuanya dapat bersemangat untuk mencapai
cita-citanya. Teruslah bermimpi, karena dengan mimpi kalian akan mempunyai
semangat untuk mewujudkannya. Hapuslah semua ketanyatan untuk berkuliah di UI
termasuk terkait dengan biaya pendidikan. Percayalah, tidak ada yang tidak
mungkin dalam dunia ini. Jika kita berusaha dan berdoa dengan tulus, Insya
Allah, Allah SWT akan mendengarkan doa kita. Ayo, semangat teman-teman semua!
Ayo tingkatkan kualitas hidup kalian! Selamat berjuang!
*Tulisan ini pernah
dimuat di website Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (click disini), yakni di bagian Profil Penerima Beasiswa
YKAI.
wah...terima kasih ya..saya jadi malu, tulisan saya ada di sini..oh ya saya sudah lulus S2 dan skrg menjadi dosen di salah satu Univ Negeri di Malang skjaligus tetap meneliti di berbagai daerah
BalasHapusTapi kan udah keluar dari universitas negeri di malang. Karena masalah apa tuh? Masalah sesama dosen ya?
BalasHapussekarang jadi apa abis di depak dr univ negri di mlg?
BalasHapus